CL 3
I was most wrong here is not you! I’ve let this feeling continues to spread in every inch of my body.
– Alyssa Saufika –
***
Bel sudah berbunyi sekitar 15 menit yang lalu. Kini aku mulai berjalan menyusuri koridor-koridor sekolahku. Mataku bergerak mencari seseorang yang namanya masih terlukis indah di organ vitalku yang paling dalam. Hati.
Kutemukan Dia lagi bersenda gurau dengan beberapa teman seangkatannya. Dengan langkah pasti aku menghampirinya.
“Yo, boleh ngomong sebentar?” Kutatap Dia yang lagi asik membicarakan sebuah buku yang judulnya tidak kuketahui.
Dia melirik ku sebentar setelah itu pamit kepada teman-temannya. Dia anggukan kepalanya kepadaku dan mulai beranjak dari tempatnya.
Sreeet..
Aku berhenti. Ku tatap pergelangan tanganku yang -entah disengaja atau tidak disengaja- digenggamnya. Diapun berhenti. Melihatku sebentar lalu melirik pergelangan tanganku.
“Fy, plis kali ini aja..” Dia menatapku nanar.
Aku tersenyum. Ku akui, aku mengingkari janjiku pada Shilla kemarin.
‘Untuk yang terakhir kalinya sebelum akhirnya aku harus benar-benar pergi dari semua tentangnya.’
Dia tersenyum lalu mengajakku ke Taman VoA dekat Financial Internasional School.
***
“Kamu mau ngomong apa?.” Dia tersenyum lalu mulai mengusap puncak kepalaku. Aku terkejut. Sedetik kemudian aku menurunkan tangannya yang tadi ada di puncak kepalaku.
Tiba-tiba aku mulai merasakan jantungku seperti tersengat. Aku menarik nafas dalam-dalam mencoba menghirup oksigen sebanyak mungkin. Kenapa rasanya sesak sekali? Ku coba untuk mengatur deru nafasku yang tidak beraturan.
“Aku.. Aku mau kamu.. Teng..ngokin Shi..lla..” Deru nafasku semakin lama semakin tidak beraturan. Ruang oksigen disini tiba-tiba menyempit sehingga aku kesusahan untuk mengatur nafasku.
“Kamu kenapa? Sakit?.” Air wajahnya berubah seketika.
Sekali lagi aku mengatur nafasku yang sempat tercekik kala penyakit itu datang lagi. Lama aku terdiam menyesuaikan deru nafasku.
“Aku engga kenapa-kenapa Yo. Aku mau kamu jengukin Shilla..” Nafasku tertahan.
“Apa alasannya? Aku gak mau. Aku udah gak mau berurusan lagi sama Dia.”
“Oh yaa? Gak mau berurusan sama Shilla? Tapi kamu ‘menembaknya’. Satu lagi, there should be no reason to see it?.”
“Dia cuma sebagai pelampiasan aku doang. Kalau kamu kesini cuma mau bahas Dia, lebih baik aku pergi.”
Aku bersimpuh lutut di depannya. ‘Gue rela ngerendahin diri gue Cuma buat lo Shill. Buat loe orang yang gue sayang..’
Tubuh Rio menegang.
“Pliss Yo. Jenguk Shilla dan.. Cintailah Shilla demi aku..” Lagi-lagi nafasku tercekat saat mengucapkan kalimat terakhir.
‘Loe harus bisa Fy! Loe bisa! Bisa!.’ Batinku.
Rio ikut turut bersimpuh di hadapanku. Tubuhnya menubruk tubuhku. Tangannya yang kekar langsung memeluk tubuhku yang kecil. Sedikit meringis aku membalas pelukannya.
“Pliss Fy, Jangan paksa aku lagi.. Aku cuma sayang sama kamu.”
“Kamu sayang sama aku?.” Rio mengangguk.
“Cintai Shilla demi aku Yo. Orang yang kamu sayang. Kabulin permintaan terakhir aku kali ini aja Yo..” Air mata ini menyeruak lagi, membasahi pipi putihku.
“Fy...”
“Kali ini aja Yo.. Kabulin permintaan aku. Sekali dan untuk terakhir kalinya..”
Rio melepaskan pelukannya. Menatap tajam manik-manik mataku. Aku balas menatapnya. Tatapan sendu.
“Baik. Aku kabulin permintaan kamu. Aku akan berusaha mencintai.. Shilla.”
“Makasih Yo.. Dan aku harap ini pertemuan terakhir kita. Makasih atas segala rasa sayang kamu ke aku..” Aku mulai menatap manik-manik mata beningnya. ‘Tuhan, ini terakhir kalinya aku menatap mata beningnya.’ Rio menatapku sendu dan tanpa kuduga dia memelukku erat. Aku balas pelukan hangatnya. Entah kenapa aku enggan untuk melepasnya..
Rio mulai beranjak dari tempatnya setelah sebelumnya melepaskan pelukan hangatnya.
***
Kusenderkan tubuhku pada sebuah pohon besar. Kuselipkan headshet pada telingaku dan mulai menekan tombol ‘play’.
Cinta yang tulus dalam hatiku..
Membuang semua hasrat diriku..
Tuk bis menyatakan sayang..
Tuk bisa mengungkapkan semua..
Pada dirimu..
Hatiku mencolos. Kenapa harus lagu ini? Tanganku kaku saat ingin menekan tombol ‘stop’ dan pada akhirnya aku membiarkan lagu terus berputar.
Rio...
Lagi bayangan tentangnya terus berputar dengan cepat. Aku memejamkan mataku berusaha menikmati bayangan-bayangan indah itu. Dan pada akhirnya bayangan itu berganti.
Rio – Shilla..
Bayangan mereka selalu berputar tanpa bisa kuhentikan. Sungguh aku tidak kuat jika bayangan itu terus menggelayuti pikiranku. Nafasku memburu. Bayangan itu terus menggelayuti pikiranku, berputar sangat cepat.
“Fy..” Tepukan di pundakku membuatku tersadar. Sedikit terlonjak, aku membuka mataku perlahan-lahan walau bayangan itu -masih- menggelayuti pikiranku. Mengambil headshet yang ada ditelingaku sambil mengatur deru nafasku semakin menjadi-jadi.
“Hh.. Yel...”
“Fy, loe kambuh?.” Aku berusaha untuk tersenyum.
“Ikutin perintah gue Fy. Tarik nafas dalam-dalam terus hembusin pelan-pelan. Ulangi terus sampai elo merasa baikan.”
Aku mengikuti perintahnya. Tapi bukannya berkurang malah semakin menjadi. Ruang oksigen disekitar sini terasa habis olehku. Aku mencoba menghirup oksigen yang ada di sekitarku. Mencoba mengatur deru nafasku yang tidak beraturan.
DEG
Jantungku seperti tersengat -lagi-. Makin menjadi sehingga membuatku kepayahan untuk mengatur nafasku. Aku meringis. Sebelum akhirnya semua yang ada di depan mataku gelap.
***
Aku tersadar. Bisa kupastikan bahwa aku sedang berada di ruang serba putih -terlaknat-. Bau-bau obatan memenuhi rongga hidungku. Aku mulai memejamkan mataku sambil mengurutkan keningku.
Tidak lama pintu ruanganku terbuka. Aku tetap memejamkan mataku sambil mengurutkan keningku berusaha untuk menghilangkan sedikit rasa pusing yang kembali menyergapku.
“Fy.” Aku membuka mataku melihat sosok itu berjalan menghampiriku.
“Sekarang apa lagi Yel.?” Aku berusaha untuk tersenyum.
“Kata Chau Lee, loe harus menghentikan aktifitas loe yang berlebihan Fy. Dan secepatnya elo harus menghubungi keluarga loe untuk menandatangani surat operasi buat..” Gabriel menghela nafas sebentar lalu mulai melanjutkan perkataannya.
“Jantung loe Fy..” Dia mendesah berat sambil menarik kursi yang ada di sampingku lalu mendudukinya.
Aku tersenyum. Berusaha meyakinkan Gabriel bahwa aku sekarang tidak apa-apa.
“Berapa lagi?.” Gabriel mengeryitkan dahinya.
“Berapa lama lagi gue bisa bertahan tanpa operasi itu?.” Gabriel terdiam. Aku ikut terdiam tak ingin menanyakan lagi.
Hening.
Tidak ada yang mau memulai pembicaan. Masing-masing masih sibuk berkutat dengan pemikirannya. Sampai pada akhirnya pintu kamar itu berdecit. Seseorang masuk dengan menggunakan jas dokternya.
“Papa..” Aku menengok sekilas saat Gabriel mengucapkan kalimat itu.
“Yel, bisa tinggalkan Papa sebentar? Papa mau ngomong sama nona muda yang bandel ini.” Aku mendengus sebal.
Gabriel mengangguk lalu mulai melangkahkan kakinya keluar dari ruangan ini.
“Kenapa Lagi?” Aku memulai percakapan dengannya. Chau hanya berjalan kearah kursi yang ada di sampingku dan mendudukinya sama seperti yang dilakukan Gabriel tadi.
“Sepertinya kamu sudah dikasih tahu Gabriel tentang hal itu, jadi Orang Tuamu sudah tau?.” Aku menggeleng perlahan.
“Aku harap mereka tidak akan pernah tahu tentang hal ini!.” Chau mengehela nafas berat.
“Mau sampai kapan? Kamu tidak bisa begini terus Fy!.” Aku hanya menggendikan bahuku.
“Gimana kabar Shilla?.” Aku mencoba mengalihkan perhatiannya.
“Masih belum ada donor ginjal dan kita lagi mencari pendonor ginjal tersebut. Dan jangan berusaha untuk mengalihkan pembicaraan kita Fy!.”
“Oke! Aku mau Chau memberitahu Orang Tuaku tapi dengan satu syarat.” Chau mengeryitkan dahi.
“Apa itu?”
“Donorin ginjalku buat Shilla..”
***
Dan Part 3 selesai dibuat >< oke ini berasa sinetron banget *nangis di pojokan* T^T
Yaudah komennya langsung yaaa~ :3
Senyum Manis,
@LersTennouji
0 komentar:
Posting Komentar
Enjoy your comment! :)