Rio berjalan menuju kelasnya. Ada yang berbeda dengan
dirinya. Diwajahnya kini bertengger sebuah sprier.
Sprier berbentuk seperti sebuah
kacamata. Jika dilihat secara lebih jelas ada beberapa tombol yang ada di sisi
kanan framenya.
Matanya kini tertumpu pada seseorang yang berhenti jauh di
depannya. Rio dapat mengenalinya. Dengan segera Rio berlari kecil
menghampirinya.
***
Ify menatap punggung Gabriel yang menghilang di balik
koridor. Satu yang ia percaya bahwa persahabatan bisa runtuh hanya karena
sesuatu. Senyuman miring terlukis diwajahnya.
Tepukkan di pundaknya membuat Ify menoleh. Degup jantungnya
berdetak lebih cepat saat mellihat orang yang disampingnya, Rio Agen dari
H-Corp yang sedang dicarinya.
Ify menghela nafas pelan sambil tetap berusaha tersenyum.
“Ya?”
“Masih inget dengan gue?” Rio menunjuk dirinya sendiri.
“Tentu.” Ify tersenyum kecil. “Oh iya. Ada apa?” Lanjutnya.
“Tidak apa-apa hanya ingin menyapa. Hehe.” Rio masih
memberikan senyuman terbaiknya.
Ify mengulum senyum. Sampai sekarang ia tidak menyangka bahwa
kini Agen dari H-Corp ada di hadapannya. Ify mengamati Rio detail dari atas
hingga ke bawah. Ia merasa ada yang berbeda dengan sosok di depannya.
Matanya tertuju kearah sprier
yang terpasang di wajah Rio. Ify menajamkan matanya berusaha melihat lebih
jelas apakah itu sprier atau bukan.
“Ada apa?” kini gantian Rio yang bertanya. Ia begitu risih
melihat Ify yang begitu jeli melihatnya.
‘Itu memang benar sprier...’
Ify mengakui kalau dirinya sudah kedahuluan start oleh Rio untuk lebih fokus
mencari Ata Cilla.
Rio mengerutkan keningnya. “Hei ada apa sih?”
Ify berdehem pelan. “Tidak. Emm kenapa gue baru sadar lo
pakai itu?” Ify menunjuk sprier yang
terpasang di wajah Rio.
“Oh ini....” Rio membetulkan letak spriernya yang sedikit miring. “Ini kacamata baca..” lanjutnya.
Ify pura-pura mengangguk. Alasan
yang logis..
Lagi-lai Ify harus menyusun rencana. Kali ini ia nggak boleh
kedahuluan terutama oleh Rio dan juga Gabriel. Ngomong-ngomong soal Gabriel,
Ify tersenyum miring sambil mengingat percakapan antara dirinya, Gabriel dan
Ayah saat mereka berada di U-Corp.
***
“FIKA!” Ify memberhentikan langkahnya. Seruan namanya yang
terdengar dari belakang membuat Ify memutar arah hadapannya.
Sivia berlari kecil menghampiri Ify. Saat sampai di
hadapannya, Sivia mengatur pernafasannya yang terlihat tidak teratur akibat
berlari-lari kecil. Jarak saat Sivia memanggilnya memang sedikit jauh.
Ify memberi sedikit waktu untuk Sivia mengatur pernafasannya.
Saat dilihatnya Sivia sudah mulai bernafas lega. Ify mengetuk puncak kepala
Sivia.
“Fika sakit!” Sivia mendelik sebal kearah Ify sambil kedua
tangannya mengusap pelan puncak kepalanya.
“Siapa suruh lari-larian kayak gitu? Nafas udah kayak di
ujung tanduk gitu juga.” Ify memutar bola matanya dengan kedua tangan yang
terlipat di dada.
“Sadis lo!” Sivia menatap sinis Ify. “Pokoknya lo sekarang
ikut gue! Nggak ada tapi-tapian!” lanjutnya sambil menarik tangan Ify dan mulai
beranjak dari situ.
Ify menatap tangannya yang di tarik Sivia pasrah. Tapi sunguh
dalam hati Ify sangat bersyukur karena baru kali ini Ify mempunyai teman selain
Gabriel.
***
“Lo harus liat Fik!” Sivia menunjuk papan mading di depannya.
Ify mengerutkan kenin.
“Apa sih yang harus di lihat Sivia? Ke kelas aja yuk
mendingan.”
Sivia mendelik sebal ke arah Ify. Emosinya mulai menyulut dan
dengan ganas Sivia mengetuk puncak kepala Ify. Ify hanya meringis kecil sambil
sesekali mengusap puncak kepalanya.
“Nih lihat! Bakal diadain lomba dengan judul Musik Kita.”
Sivia membaca sebuah poster yang ada di papan madin.
“Terus?” Ify menatap Sivia penuh tanya. Sivia mendesah berat.
“Ya ikut lombanya lah. Lumayan yang menang dapat dispensasi
untuk tidak mengikuti praktek seni musik dan sudah dipastikan nilai seni musik
diatas 80.” Ify menganguk pelan.
Sivia menatap tajam Ify. “Respon lo gitu doang? Gila gila
gila...”
Ify menghela nafas pelan. “Terus gue harus gimana?
Loncat-loncat gitu? Capek kali.”
“Ya ikut ajang lombanya lah Fy.” Sivia menggeram pelan.
“Nggak minat.” Ify menatap Sivia datar dan mulai meninggalkan
Sivia sendiri di depan papan mading. Sivia hanya menggelengkan kepalanya
perlahan-lahan.
***
Gabriel memasuki kantin sekolahnya sambil membawa laptop.
Mengambil tempat duduk paling belakang dekat pagar pembatas taman siswa. Matany
melirik kearah Ify yang sedang menyantap makanannya sendirian hingga Rio datang
menghampiri Ify.
Gabriel tersenyum miring. Pandangan matanya beralih ke arah
layar laptopnya yang tadi sudah dinyalakan. Gabriel beranjak sebentar untuk
memesan hot cappucino. Matanya masih
tetap mengawasi pergerakan Ify dan juga teman sebangkunya.
Tunggu dulu.. tadi ia menyebut apa? Teman? Gabriel segera
meralat ucapannya. Gabriel masih tidak bisa menempatkan sosok Rio di
kehidupannya. Lagi pula bukankah dia
tidak begitu penting? Benaknya.
Lamunannya buyar saat Ibu kantin memberikan pesanannya.
Gabriel memberikan uang dua puluh ribuan yang diterima oleh Ibu kantin.
“Buat Ibu aja kembaliannya.” Ujar Gabriel saat Ibu kantin
ingin memberikan kembalian uangnya. Setelah mengucapkan terima kasih sambil
tersenyum, Gabriel kembali ke tempatnya.
Ditempat yang sama namun berjarak beberapa meter. Sivia berjalan
sambil membawa sebuah formulir. Ia terkekeh pelan mengingat rencana kali ini
bakal berhasil buat bujuk Ify untuk mengikuti Musik Kita.
“Ini Pak formulirnya untuk dua orang.” Sivia memberikan
formulir ke Pak Yani saat sudah berada di Ruang Musik.
“Terima kasih. Nanti pulang sekolah harap berkumpul di sini
ya!” Pak Yani tersenyul pelan. Sivia mengacungkan kedua ibu jarinya.
“Oke sip Pak.” Sivi terkekeh pelan. “Permisi ya Pak..”
lanjutnya sambil sedikit membungkuk tanda hormat. Setelah itu, Sivia bergegas
untuk keluar.
***
Terik matahari yang menyengat membuat Ify harus mencari
perlindungan ketempat yang lebih rindang. Rutukan kecil terus keluar dari bibir
mungilnya. Ify bersandar di bawah pohon sambil sesekali mengusap keringatnya.
Ify tersenyum. Dengan segera dibukanya tas selempang yang
tergeletak dibahu kanannya. Tangannya tergerak mencari sebotol minuman yang
dibelinya tadi sewaktu istirahat. Ia terduduk di bawah pohon saat tubuhnya
tidak bisa menopangnya lagi dikarenakan terik matahari yang menyengat tubuh.
Ify menguncir rambutnya yang tergerai dengan asal-asalan
akibatnya beberapa helai rambutnya mencuat keluar. Dibukanya tutup botol yang
masih tersegel itu. Setelah terbuka, Ify meneguknya hingga tersisa setengah.
Seseorang menepuk pundaknya dari belakang lantas duduk di
samping kanannya. Ify mulai terbatuk-batuk akibat tepukan mendadak yang tidak
diduga sebelumnya. Dengan segera Ify menoleh ke arah sampingnya.
“Alvin? Kok?” Ify mengarahkan kepalanya ke kanan dan kiri
seperti orang linglung.
Alvin tersenyum meremehkan membuat Ify berhenti menjadi orang
bodoh dengan terus mengarahkan kepalanya ke kanan dan kiri. Ify mengalihkan
pandangannya ke depan sedangkan Alvin memasang wajah datarnya.
“Ada apa?” Alvin mulai menghentakkan keadaan yang tiba-tiba
sunyi. Sesungguhnya Alvin sendiri tidak mengerti kenapa ia bisa melangkahkan
kakinya untuk menemui gadis manja itu. Gadis manja? Alvin tersenum miring. Lo emang gadis manja. Gadis manja yang
menjatuhkan..
“Apanya?” Ify meneguk
lagi air minumnya. Sambil sesekali mengusap peluh di wajahnya yang mencuat
keluar.
“Ternyata masih sama bodohnya.” Alvin merebahkan tubuhnya
diatas pijakan yang ia duduki. Tidak peduli kemeja putihnya kotor atau apapun
itu.
Dan untuk kedua kalinya Ify terbatuk-batuk mendengar ucapan
Alvin yang terasa asing ditelinganya. Sapu tangan berinisial AJ dengan
perpaduan warna biru dan putih hadir dihadapannya. Dengan segera Ify
mengalihkan pandangannya kearah Alvin.
“Nggak masalah kalau emang nggak mau.” Alvin segera memasukan
kembali sapu tangannya di kantung kemejanya.
Ify membuka mulutnya ingin mengatakan sesuatu namun suaranya
tertahan di tenggorokan. Dan dengan terpaksa Ify menutup mulutnya lantas
mengalihkan pandangannya. Ify menatap kosong botol minumannya.
“Gue mau minta maaf.” Akhirnya Ify bisa mengucapakan kalimat
yang sempat tertahan di kerongkongan walaupun terdengar lirih.
Helaan nafas berat Ify terdengar Alvin. Alvin memejamkan
matanya berusaha melupakan kalimat lirih Ify yang terngiang di telinganya.
Namun yang terjadi kalimat itu masih terekam jelas dan enggan pergi bahkan
helaan nafas berat Ify juga masih terdengar setelah mengucapkan kalimat itu.
***
Prissy masih berdiri di depan halte bus.
Berkali-kali ia melihat jam di pergelangan tangan kirinya. Dengan kesal
Pricilla duduk di bangku halte yang sudah disediakan.
“Kamu ngapain disini?”
Suara yang tiba-tiba terdengar menyentak membuat Prissy
mengelus dada, “Jangan bikin kaget orang dong...” Prissy menoleh ke sampingnya
sambil mendelik tak suka dan beralih menatapnya.
“Yah maaf deh. Kok belum pulang?” Prissy dapat merasakan
sosok itu duduk disampingnya sambil menyesap minuman yang dibawanya.
Prissy menggendikan bahunya, “Gatau deh. Nungguin bus tapi
nggak muncul-muncul.”
“Pantes. Nggak bakal ada satupun bus yang lewat sini. Di
ujung jalan sana kan ada perbaikan makanya dari tadi nggak ada satu
kendaraanpun yang lewat.”
“Pantes.” Prissy mendengus sebal. “Yaudah gue duluan ya!”
Prissy segera berdiri dari duduknya. Belum sempat beranjak dari tempatnya,
sosok itu menahan lengan Prissy.
“Gue anter yuk!” Prissy terdiam ketika sosok itu memberikan
senyuman yang menurutnya -hm- manis.
Sesaat Prissy sadar dari kediamannya. “Gue kan nggak kenal
lo. Kalo lo nyulik gue gimana? Berabe nanti.” Priss menarik lengannya dan
melirik tajam sosok dihadapannya.
“Gue Rio. Kita kan satu sekolahan dan nggak mungkin gue
nyulik elo lah. Haha.” Rio -sosok itu- memberikan senyuman terbaiknya sambil
mengulurkan.
“Haha iya gue tau kok. Pricilla Agatha cukup panggil gue
Prissy.” Prissy menerima uluran tangan Rio sambil tersenyum.
“Yaudah yuk gue anterin.” Prissy mengangguk dan mengikuti di
samping Rio yang mulai berjalan ke arah parkiran yang letaknya tidak jauh dari
halte bus.
‘Mission complete haha.’
ucap Rio dalam hati
serta senyuman miring terlukis di bibirnya walau sebentar.
***
credit : @Lcoaster17
0 komentar:
Posting Komentar
Enjoy your comment! :)