27/04/14

White Coffee [2]


  • PART 2 : It’s First Love
“The day when I first saw you 
Your bright smile full of shyness
We’ll get closer after today 
Every day, I have heart-fluttering expectations—“

          Aku membuka pintu kamar mandi dengan membawa handuk dan pakaian dalam. Pertama kali masuk yang aku lakukan adalah langsung menyalakan keran air agar bathub kesayanganku terisi penuh. Aku menatap kaca yang ada di samping dekat pintu. Tanganku langsung segera mengambil sikat gigi beserta odol dan mulai membersihkan rongga-rongga yang ada di dalam mulutku.

          Entah kenapa yang ada di pikiranku saat ini adalah pertemuan kemarin sore saat hujan turun datang dan membuatku merasakan menjadi salah satu anak yang paling sial dengan kejadian bis mogok dan menunggu berjam-jam dengan kondisi kedinginan.

          Tapi mungkin itu juga yang membuatku merasa beruntung. Pada hari itu juga dan untuk pertama kalinya aku di traktir disebuah cafee baru yang ada di Dago. Free of one white coffee.

          Bukan hanya itu saja, aku juga merasa beruntung telah dipertemukan dengannya. Bukan karena aku jatuh cinta kepadanya, tapi terlebih karena aku tertarik dengan senyumannya. Senyumnya membuatku merasakan hal yang nyaman dan membuatku ikut menarik kedua sudut bibirku saat ia mulai tersenyum kearahku.


It makes me shiver,
The wind makes me shiver
The story begins begins
You’re smile smile smile
You’re voice voice voice
Like a blooming flower—“

          Aku menyanyikan sepenggal lagu Everday Love sambil tersenyum. Entah mulai sejak kapan aku sudah menghafal namanya dengan baik. Atau mungkin karena memang namanya yang sangat singkat dan easy listening.

          Rio.

          Tanpa ada embel-embel lain yang ada di belakangnya. Aku mulai tersenyum kembali. Oh Tuhan.. rasanya seperti ingin terus tersenyum sepanjang hari tanpa harus pegal-pegal. Seharusnya efeknya tidak mungkin sedahsyat ini kalau saja… aku tidak jatuh cinta.

          Mungkin aku memang tidak jatuh cinta padanya. Tapi takdir yang digariskan Tuhan, aku tidak akan pernah tahu. Kalau memang nantinya ia jodohku, aku hanya berharap bahwa semua rasa yang aku punya nanti hanya miliknya. Bukan milik siapa-siapa.

          Sivia pernah bilang bahwa, aku harus menemukan cinta yang memang benar-benar tulus atau aku tidak akan pernah menemukan pangeran dalam sosok hidupku. Funny but I’m enjoy about it for now..

          Seperti yang pernah aku bilang bahwa biarkan semuanya mengalir bagaimana semestinya. Hanya harus berada di jalurnya saja. Akhirnya setelah cukup lama aku hanya berdiri di depan kaca dengan pikiran yang sudah kemana-mana, aku memutuskan untuk segera berendam di bathub.

          Rasanya aku harus menjernihkan tubuhku dan juga pikiranku.

=o=WhiteCoffee=o=

          Getaran ponsel yang ada di atas meja belajar membuatku beranjak dari kasur. Nama Sivia tertera di notifikasi pesan handphoneku. Aku segera mengklik pesan tersebut dan mulai membacanya dalam hati.

          Aku mengeryit heran saat Sivia mengajak lunch dengan Alvin. Oh my God. Kenapa harus aku.. lagi pula itu kan hanya makan siang dan kenapa aku harus ikut segala. Setelah aku membalas untuk menanyakan perihal tersebut, Sivia hanya membalasnya dengan emotion penuh harap karena Sivia merasa masih malu jika hanya berdua saja dengan Alvin.

          Aku berdecak sebal, how about me? Aku harus terpaksa bertahan menjadi lalat-lalat yang nantinya pasti tidak akan di perdulikan keadaannya walaupun kenyataannya aku ada di sisi kedua makhluk tersebut.

          Permasalahan yang ada ketika memilih untuk Single or Jomblo because don’t have a boyfriend. Kalau saja aku punya, pasti yang terjadi aku tidak perlu menjadi lalat karena ujung-ujungnya akan menjadi sebuah double date.

          Aku menepuk keningku keras. Kebanyakan mikir akhirnya ngelantur kemana-mana. Akhirnya aku memutuskan membantu Sivia untuk menemaninya bertemu dengan Alvin di iming-imingi dengan sebuah oreo cake.

          Aku menaruh kembali ponselku di atas meja dan langsung segera merebahkan diri di kasur yang begitu empuk. Yang ada di pikiranku saat ini hanyalah tidur. Dengan begitu aku mulai memejamkan kedua mataku dengan memeluk sebuah guling bergambar hamster kecil.

=o=WhiteCoffee=o=

          Hari minggu. Tepat dimana hari perjanjian untuk menemani Sivia bertemu dengan Alvin di sebuah Paris Van Java. Aku dan Sivia bahkan sudah menunggu selama dua puluh menit tetapi Alvin masih belum menunjukkan batangnya. Aku menatap malas kearah Sivia yang masih tetap santai walaupun harus menunggu lama bahkan ia masih tetap texting with him. Siapa lagi kalau bukan Alvin dengan segala kesempurnaan yang selalu Sivia ceritakan.

          “Vi, bored. Hhm, I’ll go to a bookstore yayaya?”

          Aku mulai berdiri dari tempat dudukku.

          “Ify! Gue kan minta ditemanin disni bukan buat ditinggalin sama aja bohong kalau gitu. Ayolahh, kita kan selalu melakukan talk promise.”

          Aku dengan sebal segera mendudukan kembali tubuhku di bangku depan Sivia. Sivia menatapku tesenyum puas. Ngomong-ngomong soal talk promise itu adalah plesetan dari pinky promise. Kalau jaman dulu mungkin harus menjanjikan sesuatu dengan jari kelingking baru dinyatakan resmi tapi jaman sekarang yang udah bukan jamannya anak kecil lagi  pinky promise diganti dengan talk promise. Berjanji lewat pembicaraan. Entah textingcall, or meet-up.

          “Slow baby. Ten minutes again and Alvin come to me haha.”

          “Yeah.. come to you.. right babe?”

          “Of course baby! Come to me because our heart be a one haha.

          “Najis..” Aku semakin mencibir ke arah Sivia yang kalimat-kalimatnya membuatku ingin muntah. Jatuh cinta nggak segitunya juga kali..

          “Makanya cari pacar gih. Kan kita bisa double date.” Sivia meletakkan handphonenya di atas meja.

          “So, how about you babe? You and I is single, forget?” Aku menyenderkan kepala dengan santai ke meja.

          “No! Wait a moment.. Alvin will be a my boyfriend. Just me. Okey?” Sivia mengetuk kepalaku kencan hingga aku mengaduh kesakitan. 

          “Via! Tenaga lo itu melebihi tenaga kuda nil, jadi kalau mau mukul itu harus diukur. Dikira nggak sakit..” Aku mengusap puncak kepalaku yang menjadi pukulan Sivia.

          Sivia menatapku datar. “Ups, sorry.”

          Aku mengangkat kepalaku dari atas meja dan membalas menatapnya datar. “Yeah sorry-sorry everywhere.”

          “Hhm, sorry baby. Sorry sorry again baby. Key?”

          Aku semakin menatapnya datar kala Sivia memaksakkan senyumnya. Please.. your face..

          “Baby baby baby… I’m not your baby!

          “You’re my baby. My baby my baby and my baby. Just my baby. Forever.

          “Ya Sivia!”

          “Ya Ify!”

          Aku menatapnya kesal. “Whatever, say what you need to say..”

          Sivia tersenyum kegirangan bahkan dari jaraknya yang di depanku ia mau memelukku dengan merentangkan kedua tangannya kearahku.

          Aku semakin menatapnya jijik. “YA SIVIA!”

=o=WhiteCoffee=o=

            Aku mendesah kesal menatap dua orang didepanku yang sudah asik sendiri, Alvin-Sivia. Wajahku bahkan sudah nggak enak dilihat. Super bete. Seperti yang Sivia bilang tadi Alvin benar-benar datang sepuluh menit lagi. Jadi kalau dihitung-hitung sudah tiga puluh menit lamanya aku menemani Sivia menunggu Alvin dan hanya duduk berdiam diri.

          Perkenalanku dengan Alvin terbilang singkat karena Sivia sudah menarik tangan Alvin untuk segera melakukan dating. Alvin memang mempunyai wajah yang manis. Ia terlihat sebagai good cover. Tapi untuk personalitynya entahlah. Aku juga nggak berniat buat masuk terlalu jauh kesana.

          Setelah sight-seeing nggak jelas dari satu toko ke toko yang lainnya. Akhirnya dengan memberanikan diri aku meninggalkan Sivia beserta Alvin. Tidak lagi mengikuti dan menemani mereka karena pada dasarnya aku seperti lalat yang mengganggu acara dating mereka.

          Kini aku mengarah masuk ke sebuah toko buku di PVJ. Baca-baca gratis sambil menunggu menyadari hilangnya aku yang tadi berada menemani dibelakangnya. Aku tersenyum kecil membayangkan wajah Sivia yang pasti udah ngomel-ngomel dengan menyebutkan talk promise terus menerus.

          Aku berjalan masuk ke bagian rak komik. Melihat seri-seri terbaru momokanA story about a dog who is very very cute! Tanpa sadar mataku menyipit memperjelas penglihatan yang berada tidak jauh di depanku.

          Rio.

          Aku semakin memperjelas penglihatanku. Bukannya sekarang ia seharusnya berada di Coffee Love. Dengan langkah lebar, aku mulai menghampirinya.

          “Hey!

          Rio segera membalikkan badannya dan setelah melihatku ia langsung tersenyum. Senyum yang selalu bisa membuatku nyaman walau ia hanya seorang waiter.

          “Hey, long time no see.”

          “Haha just two days.”

          Rio tersenyum kecil. “I’m Rio. You?” Rio mengulurkan tangannya kearahku.

          “Yeah, I know it. I’m Alyssa Cassandra but you can call me Ify.”

          Aku membalas jabatan tangan Rio dengan senyuman kecil yang terukir di bibirku. Rio pun membalasnya dengan ikut tersenyum kecil. Oh Tuhan….

          “Lagi cari apa?” Aku menatap komik yang sedang di pegang Rio.

          Rio mengangkat komik yang dipegangnya kearahku. “Naruto.”

          Aku mengangguk kecil. “By the waythanks for the white coffee hhm two days ago..”

          “Haha, okey. No problem.”

          “Hari ini nggak kerja? Bukannya untuk cafee baru sekarang lagi padat-padatnya ya?” Aku menatap bingung kearah Rio.

          “You’re busy? I will come to Coffee Love with you. Agree?”

          Aku menggaruk tengkuk belakangku dan memandang Rio dengan bingung. Bukannya menjawab pertanyaanku ia malah melontarkan pertanyaan lain. “Err.. I can’t it because my friend in here and—“

          “So, you can’t come to Coffe Love?” Rio memotong perkataanku barusan dan langsung mengarah to the point. Sepertinya Rio termasuk kedalam orang yang tidak suka berbasa-basi. Tapi.. mengingal saat kemarin ia memberiku segelas White Coffee dan melakukan beberapa perbincangan.. bukankah itu sebuah basa-basi belaka?

          Apa Rio termasuk orang yang plin plan?...

          “Hey!”

          Aku tersentak saat Rio menepuk pundakku. Beberapa kalimat yang muncul di pikiranku langsung hilang begitu saja saat Rio tertawa.. menertawakanku lebih tepatnya.

          “Your face! Hahaha.”

          Seketika bibirku mengerucut membentuk sebuah tindakan ambekan yang membuat Rio menutup mulutnya untuk segera berhenti tertawa. Walau bagaimanapun senyuman Rio memang selalu bisa membuatku menguburkan segala bentuk tindakan kesal dan ambekan kepadanya.

          “Sorry haha. But your face is so—bad.” Rio kembali tertawa dan dengan gerakan lepas tanganku langsung memukul bagian lengannya dengan keras.

          “Rio!”

          Rio menggerling lucu kearahku. “Haha sorry to say it, rain guards..

          Aku melongo hebat kearahnya. “Penjaga hujan?”

          Rio menatap komik yang dipegangnya dengan senyuman yang berbeda. Aku seperti merasakan sebuah rasa yang jauh kehilangan. Dan jauh menembus dasar hatiku. Tapi aku masih tidak tahu apa yang hilang dan apa hubungannya dengan senyuman Rio.

          Aku menghela nafas pelan. Tanpa memerdulikan jawaban dari lontaran pertanyaanku barusan, aku langsung menarik tangan Rio keluar daribookstore.

          “Now, we will come to Cofee Love.” Aku berusaha tersenyum walau masih dilanda kebingungan yang memenuhi hatiku.

          Rio meletakkan komik yang tadi di pegangnya ke tempat semula. Ia memindahkan tanganku yang tadi memeluk lengannya dengan mengambil alih menjadi menautkan jemari tangannya dibawah jemariku.

          Tanpa sadar aku tersenyum lebar menatapnya. Aku mengeratkan genggaman jemari tangannya. Rasa itu kini mulai menyelinap masuk kedalam hatiku. Rasa yang terus membuatku nyaman saat berada di sisinya dengan sebuah senyuman yang selalu memenuhi pikiranku setiap saat.

          Dengan sebuah keyakinan yang entah dari mana datangnya, aku mulai menetapkan hatiku padanya. Seseorang yang bahkan biasa-biasa saja. Dari kalangan biasa yang mencari uang untuk biaya hidupnya terbukti dengan pekerjaannya sebagai waiter di salah satu cafee. Ia bahkan tidak mempunya wajah semanis Alvin atau bahkan setampan Robert Pattinson.

          Ia hanya seorang Rio. Dengan sebuah senyumannya yang bisa menyentuh titik terdalam hatiku. Seseorang yang bisa membuatku nyaman untuk terus berada di dekatnya. Tanpa peduli status sosial yang ada pada dirinya. Aku mulai merasakan efek Sivia yang setiap saat selalu menceritakan Alvin kepadaku. Karena aku sudah terlalu jatuh masuk kedalam.

          It’s first love for me with him.

          Aku semakin tersenyum. Sesekali pandanganku mengarah pada Rio dan jemari tangannya yang ada digenggamanku. Mungkin saat ini aku yang berjuang untuk menggenggammu.. Tapi suatu saat ketika Tuhan berkehendak maka kita berdua yang akan menggenggam satu sama lain. Bukan hanya aku. Tapi aku dan kamu. Ify dan Rio.
“—Just holding your hand makes me feel warm 
I only have you, it’s only you forever, special you
Walking on the white path, leaving our footprints
The angels sing above in the clear sky—“

 ***

4 komentar:

Enjoy your comment! :)