22/04/14

White Coffe [1]


  • PART 1 : It’s You
“—You come offering a coffee then I drink it,
A few moments I know if that was a white coffee
And at this point I began to like the white coffee—“

          Aku menatap malas kearah Sivia yang sejak dua puluh menit lalu mulai bercerita tentang pemuda yang bernama Alvin. Selalu begini. Setiap hari Sivia tidak pernah luput menceritakan betapa tampan, pintar, baik, perhatiannya Alvin ke semua orang. Aku bahkan terlalu bosan mendengar cerita Sivia seperti itu. Tiap hari tidak ada topic semenarik Alvin yang Sivia ceritakan kepadaku. Dan yang diceritakan tentu yang baik-baiknya saja. Ck, aku bahkan nggak pernah ketemu dengan pemuda yang sesempurna itu.

          Hello! In this world, no one was perfect. Ha-Ha-Ha.

          Adakah yang begitu sempurna di dunia ini? Tentu ada. Cuma satu, Tuhan. Itu yang aku tanamkan dalam pikiran dan hatiku. Tapi untuk people’s in this world nggak ada yang sempurna. Ada kelebihan tentu ada kekurangan. Ada kekurangan pasti punya kelebihan. Segalanya nggak ada yang sempurna. Aku bahkan bingung kepada Sivia yang katanya love at the first sight kepada Alvin sampai segitunya.

          “Ya! Alyssa! Do you hear me?”

          Aku berjengit saat tangan Sivia yang gemuk memukul lengan tangan kananku yang terbilang kurus. Rasanya… ouch, sakit. Oke ini alay. Nggak sesakit itu perih sedikit dan tentu saja kulitku berubah menjadi kemerahan pada bagian yang dipukul. Sivia lebih mirip seperti kudanil… kalau begini terus huh.

          “Yeah, I hear your story-telling about him. Ck, I’m bored. You know?”

          Aku masih mengusap-usap bagian tangan kananku. Kenapa perihnya nggak ilang-ilang?! Mana merah lagi… berasa lagi di cu-pang. Bzz! Lupakan.

          “Okeh. I know. Listen! You must be find a love or you cann’t find a prince in your life.

          Sivia menatapku sebal dengan diakhiri gumaman kekesalan. Ha-ha aku bahkan sudah kebal dengan kalimat yang selalu dipakai Sivia saat aku mulai bosan dengan cerita yang serba Alvin.

          The sentence is not powerfull in my life.

          Jahat? Enggak kok. Cuma punya prinsip. Klise banget sih, bukan mencari dan menemukan tapi nunggu waktunya aja nanti juga datang. Jadi kalimat Sivia tentu tidak akan mempengaruhi kehidupanku yang masih berjalan sesuai dengan prinsip hidupku.

          “Keep slowly. Seperti air, ikuti saja irama airnya. Hidup udah ada yang ngatur so tetap berada di jalannya saja Siviaku.”

          Aku menarik pipi bapau Sivia yang gemuknya nggak ketulungan. Walaupun begitu tetap saja Sivia sahabat terbaikku. Dia cantik walau rada berlebihan. Pintar tapi lemotnya ngalahin samudera. Urusan cinta tentunya nomor satu. Tapi urusan memasak bisa meluluhlantahkan lautan, kacau balau. Seperti yang aku bilang tadi, ada kelebihan pasti ada kekurangan. Nggak ada yang sempurna itu di dunia ini.

          Sivia segera menarik kursinya di dekatku. “Lo tau, kenapa yang udah nenek-nenek masih betah makemake-up walau cuma sebatas bedak tebal dan lipstick tipis?

          Aku berdehem sebentar. “Mungkin mereka merasa kecantikan adalah nomor satu?” Aku segera merutuki kalimat yang baru saja kulontarkan. Memangnya.. nenek-nenek perlu cantik?...

          Sivia menjentikkan jarinya.

          “Bingo! Mereka perlu cantik. Buat apa? Buat mencari pasangan sejatinya. Mereka pakai bedak biar kelihatan putih walau itu nggak mungkin karena wajah mereka tetap kelihatan keriput. Lipstick tipis itu buat menutupi bahwa sebenarnya bibir mereka sudah mulai menua dan nggak enak dilihat lagi.”

          Aku tertawa puas. Cantik-cantik tapi kemakan sinetron banget. Ya Tuhan tolonglah sahabatku ini.. lepaskanlah dia dari dunia sinetron haha.

          “Nanti gue buat alat make-up yang bisa bikin nenek-nenek jadi awet muda umur dua puluh tahunan haha. Sinetron again?” Aku masih tidak bisa menahan tawa saat Sivia menganggukan kepalanya. Innocent girl facebanget. Ya Tuhan.. salah apa sahabatku ini hahaha.

          Akhirnya pertemuan kali ini dengan Sivia di lanjutkan dengan membahas about grandmother yangbeautiful. Tanpa membawa topik Alvin kedalamnya. Ya walaupun topik kali ini sangat tidak bermutu, setidaknya aku menikmati pembahasan kali ini.

          Ya. Sesederhana itu.                                         

=o=WhiteCoffee=o=

          Hujan membasahi kota Bandung sedari pagi hingga membuatku terjebak di seputaran kampus. I’m bored again. Nggak bisa kemana-mana. Cuma duduk kaya orang bengong di kantin memandangi hujan yang masih setia turun dengan derasnya. Ngomong-ngomong tentang Sivia, hari ini dia nggak masuk alasannya sih bolos. Mentang-mentang boleh nggak masuk selama empat kali tiap mata kuliah. Of course, dunia kuliah dan sma sangat-amat different. Kadang pengen banget balik ke masa-masa sma tapi udah terlanjur kuliah ya apa mau dikatalah. Jalani aja kaya muara air yang terus mengalir.

          Aku melirik jam di pergelangan tanganku. Udah jam lima sore. Aku mendesah tak kentara. Rasanya pengen langsung sampai ke rumah lalu tiduran. Nikmatnya..

          Dengan alasan di iming-imingi kasur akhirnya aku mulai memberanikan diri buat menembus hujan detik ini juga. Bodo amat kepalang basah dikit tapi yang penting bisa pulang lalu tidur. Oh my bed! I’m coming!

          Walaupun nggak ada payung setidaknya aku sudah memakai jaket pemberian nenekku. Ngomong-ngomong tentang nenek, jadi ingat pembahasan kemarin sama Sivia. Berasa orang gila ngegosipin nenek-nenek yang nggak pernah punya pasangan sampai mati-matian dandan kayak umur dua puluh tahun haha.

          Akhirnya bis yang biasa aku tumpangi sudah berada dipangkalan halte. Aku segera menambah kecepatan berlari untuk segera duduk di bis dan nggak akan kebahasan lagi. Beberapa saat setelah kursi penuh, bis yang aku tumpangi mulai menarik porseneling dan segera berjalan menjauh dari pangkalan halte.

          Aku bernafas lega. Aku segera mengambil earphone yang ada di tas kecilku dan mulai memasangkannya di kedua telingaku. Setelah itu aku mulai memilih-milih lagu yang ada di playlist handphoneku.

“—one love for the mothers pride o
ne love for the times we cried 
one love gotta stay alive I will survive 
one love for the city streets 
one love for the hip hop beats 
one love, oh I do believe 
one love is all we need—“

          Pilihanku akhirnya jatuh pada grup Blue yang One Love. Aku mulai menyenderkan kepala ke tumpuan kaca dan mulai menutup mata. Menikmati lagu sekaligus beristirahat sebentar selagi sampai ke tempat tujuan.

          Bis yang aku tumpangi seharusnya berjalan dengan lancar dan aman-aman saja tapi ini kenapa jadi mandet-mandet hingga tiba-tiba bis berhenti mendadak. Lalu terdengar suara teriakan konektur kalau bisnya mogok.

          What are you saying?! Mogok? Oh Damn…

          Ini masih hujan. Dan mesti walk in the rain? Please, berasa kaya di film-film Hollywood tapi ini bedanya nggak ada pasangannya. Bzz! Yasudahlah apa mau dikata. Dan dengan berat hatipun aku turun dari bisa beserta penumpang yang lainnya dengan wajah super bête. Mogok mogok everwhere…

          Nggak ada tempat buat berteduh. Nggak ada pepohonan. Nggak ada halte. Nggak ada payung. Yeah, nasib. Ini masih jauh dari rumahku tapi aku masih terjebak ditengah hujan yang membasahi tubuhku. Good Day.

          Mataku langsung menyapu ke sisi jalan, siapa tahu ada tempat buat berteduh. Ketika melihat sebuah cafee coffee yang terletak di paling ujung persimpangan jalan akhirnya aku memutuskan untuk berlari lebih kencang dari pda mengejar bus mogok tadi.

          Coffee Love.

          Sebuah cafee yang ada di jalan Dago daerah Bandung yang baru aku ketahui. Aku menggerakkan kepalaku kedalam cafee, tidak banyak pengunjung apalagi ditengah hujan seperti ini. Aku hanya berdiri di depan cafee untuk berteduh karena aku tidak membawa uang lebih untuk sekedar masuk kedalam.

          Aku mengeratkan jaket yang kupakai dengan erat. Sesekali aku mengusap kedua tanganku yang dingin. Sudah terhitung sejak sejam yang lalu aku berteduh di depan cafee. Matahari sudah mulai terbenam tapi hujan masih turun dengan deras.

          Oh ayolah. Fast! Fast! Fast!

          Aku terus bergumam dalam hati. Tubuhku langsung berbalik kaget saat seseorang menepuk pundakku dari belakang.

          “Sorry. You have a free time? Come to Coffee Love.

          Aku mengeryit heran menatap seorang pemuda dengan pakaian yang bertuliskan Coffe Love. Sepertinya ia seorang karyawan cafee yang aku tempatin buat berteduh.

          “Me? Er.. I can’t it..” Aku sedikit menundukkan kepalaku sebagai permohanan maaf.

          “Masuklah. Saya sudah melihat kamu hanya berdiri di depan cafee sejak sejam yang lalu. Di luar hujan tidak baik jika kamu terus berteduh diluar nanti bisa sakit.”

          Aku mengusap tengkuk belakangku canggung. “Sorry again.. but I—“

          Pemuda tadi langsung menarikku masuk kedalam cafee Coffe Love bahkan aku belum sempat menyelesaikan perkataanku barusan. Dan dengan terpaksa akhirnya aku ikut turut masuk sambil memikirkan berapa jumlah sisa uang yang ada di dompetku.

          Pandanganku meneliti di setiap sudut cafee ini. Interiornya terbilang sangat simple dengan menampilkan beberapa bagian yang vintage. Yang bikin aku terkagum-kagum disetiap sisi memiliki kaca estalase sebagai pembatas tiap ruangan. Ada juga bar kecil yang aku yakini sebagai tempat membuat coffee. Karena namanya saja sudah Coffee Love pastinya menunya juga berhubungan dengan coffee.

          Aku duduk di tempat yang menurutku paling strategis. Bisa memandangi semua sisi yang ada di cafee ini.

          “Wait a five minutes..

          Aku tersenyum canggung sambil menganggukkan kepalaku kearahnya. Kemudian pemuda itu segera kembali bar. Setidaknya ini bisa membuatku bebas dari kedinginan ketika diluar tadi.

          Pemuda tadi kembali tidak lama dengan membawa sebuah gelas. “In the rainy, I take a coffee glass. Special for you.

          “Coffe? For me?” Aku mengeryit heran. Perasaan aku tidak memesan apapun.

          “Yes! For you.”  

          Ia menaruh segelas coffee di meja yang aku duduki. Kemudian ia beralih duduk di depanku. Asap yang mengepul dari segelas coffee tersebut membuatku tergiur ingin meminumnya untuk menghangatkan badanku yang mengigil kedinginan. Tapi.. mengingat uang di dompetku cuma cukup bayar ongkos akhirnya aku memendam keinginanku terdalam.

          Aku menunduk malu. “Ehm.. but I don’t have a money so.. I can’t buy this coffee. Sorry for that..”

          Aku membasahi bagian bawah bibirku. Yang terpintas dipikiranku hanyalah malu. Sudah di ijinkan untuk berteduh didalam cafee dan masih disuguhi sebuah coffe. Rasanya… aku harus menutupi wajahku di bantal dalam-dalam.

          “No. you get a free coffe from Coffee Love. Because, Coffee Love launching a single cafee in Dago today. So, this coffee special for you.

          Aku tersenyum kecil. “Thanks.”

          Pemuda tadi ikut tersenyum sambil mengangguk. “Do you like a coffee?”

          Aku meringis menatapnya. “Sometimes because the taste is bitter hm.

          “Ok, so you can sample this coffee and give know me what a taste of this coffee.” Ia semakin melebarkan senyumnya. Tangan kanannya menyerahkan lebih dekat segelas coffee itu ke depanku.

          “Err.. okey.” Aku memandangnya ragu dan kemudian mengangkat segelas coffee itu dan menyesapnya pelan. Rasanya… tidak pahit namun terasa manis. Tapi itu tidak mengurangi rasa kopi itu sendiri. Dan ini sumpah enak banget.

          “What about the taste?”

          “Delicious. Coffee? Seriously?”

          Aku memandangnya tidak percaya. Kenapa rasanya beda seperti kopi-kopi yang pernah aku minum. Ini bahkan jauh lebih lezat. Nggak pahit tapi manis. Takaran manisnyapun sangat tepat karena tidak sampe kemanisan.

          “Yeah. The name is White Coffee.”

          White coffee?”

          “Yeah. White coffe just for a rainy day.

          Aku tertawa pelan. “Jadi hanya di sediakan saat hujan saja? Speechless about it.”

          Ia menggaruk keningnya pelan. “Ehm.. enggak juga sih tadi cuma ngungkapin sepintas aja biar keliatanspecial gitu hehe.”

          Aku menyesap kembali segelas white coffe. Rasanya aku mulai menyukai coffee rasa ini. Rasanya selalu bikin ketagihan.

          “You are funny. But thanks for the white coffee. Good day in the rainy today hehe.

          “Haha, so do you like white coffee now?

          “Yeah. I like it haha.

          Pemuda itu ikut tertawa sedangkan aku mulai merasa nyaman berada di Coffee Love. Kemudian ia mengangguk kecil dan memohon izin untuk segera beranjak dari duduknya. Aku pun ikut mengangguk kecil.

          “Okey, nice to meet you. I hope you can visit this cafee in next day.” Ia menoleh sekilas kearahku masih dengan senyum yang sama.

          Aku membalas senyumnya. Sedikit melirik name tag yang ada di kemeja kerjanya. Dalam hati aku mulai menghapal namanya.

          Nice too meet you, Rio.

***

0 komentar:

Posting Komentar

Enjoy your comment! :)