09/07/12

End [3]



            Ify menghela nafas pelan. Pikirannya sangat lelah mengingat kejadian siang tadi disekolah. Belum lagi Gabriel yang marah padanya karena Ify tak kunjung datang. Diambilnya laptop di samping tempat tidurnya. Ify mulai menyusup diam-diam ke domain perusahaan ternama, H-Corp.

            Kali ini Ify akan melacak apakah benar Rio bagian dari agen H-Corp. Setelah memasukkan nama Rio di kolom search, Ify mengamati dengan jelas layar yang terpampang di depannya.

            “Hm.. Nama Rio Haling. Usia 17 tahun. Predikat pertama sebagai Agen 01 H-Corp. Orang yang sering dicari buat menyelesaikan suatu misi.”

            Ify bergumam sambil menyantap cookies yang ada di sebelahnya. Ia menggerakan mousenya kebawah. Kali ini Ify mengsearch misi Rio di kolom pencarian. Ia mengambil minuman yang terletak di meja samping tempat tidurnya. Ditegakkannya minuman itu hingga sisa setengahnya sambil menatap layar laptopnya.

            “Rio Haling. Misinya menemukan Ata Cilla sebelum U-Corp menemukan Ata Cilla terlebih dahulu. Menggagalkan segala usaha yang berhubungan dengan U-Corp terhadap Ata Cilla.”

            Ify terdiam beberapa saat sesudah membaca kalimat di kolom pencarian tadi. Ditegukkannya lagi minuman tadi lantas ditaruhnya kembali ke semula. Alarm tanda bahaya mulai terdeteksi di laptopnya. Dengan segera ditutupnya akses domain ke perusahaan h-Corp sebelum para Agen H-Corp mendeteksi keberadaannya.

            Diliriknya watch phone di tangan kirinya. Jam menunjukan pukul 5 sore waktu setempat. Ify langsung bersiap-siap untuk bertemu dengan Alvin di Molight Park.


***

            Ify menyesap coffe yang baru dipesannya. Masih panas, pikirnya. Ia pun mengambil handphone yang berada tas kecilnya. Mengetik pesan singkat untuk Alvin. Setelah terkirim Ify kembali dalam lamunannya.

            ‘Cita-cita kamu apa sih?’

            ‘Aku? Hm mau jadi pacar kamu aja. Boleh nggak? Hehe.’

            Ify tersenyum miris. Kalimat sepuluh tahun lalu masih terekam jelas di otaknya. Disandarkan tubuhnya pada kursi sambil sesekali menyantap keripik singkong yang ada di mejanya. Matahari mulai terbenam tapi Ify masih berdiam diri di Molight Park.

            ‘Kalau kita udah gede. Jangan lupain aku ya! Haha.’

            ‘Kalau kita udah gede. Aku mau ngelamar kamu ah. Haha.’

            Lagi-lagi Ify tersenyum miris mengingat kalimat sepuluh tahun lalu. ‘Kamu berubah Vin. Dan aku yang sudah membuat kamu berubah hingga akhirnya susah untuk dijangkau..’

***

            Alunan sebuah nada terdengar jelas di telinganya. Nada yang pernah dibuat olehnya dan juga.. Ify. Alvin menutup mukanya dengan bantal. Bersamaan dengan itu Alvin berteriak sekencang-kencangnya. Setelah dirasa cukup, Alvin melempar bantalnya kesembarang arah. Dengan nafas yang tidak beratur Alvin bangkit dan mulai membersihkan dirinya.

            Handphonenya berdering namun langsung terhenti. Alvin yang baru saja keluar dari kamar mandi hanya menoleh sebentar lalu mulai berganti pakaian. Ia pun keluar dan menuruni tangga untuk makan malam. Alvin sudah bertekad bahwa ia nggak akan pergi ketempat yang sudah dijanjikan Ify secara sepihak.

            Dibukanya tudung saji saat sudah berada di ruang makan. Menu hari ini membuat nafsu makannya meningkat, Telor ceplok ditambah kecap manis. Langsung ditariknya kursi untuk menikmati makan malam ala kadarnya.

            Waktu terus bergulir. Janji yang dibuat sepihak tidak akan berlaku baginya. Hanya laluan angin yang tidak harus didengar. Hanya sebuah sampah yang harus dibuang. Dan hanya sebuah masa lalu yang harus di tinggalkan.

***

            “Ayah.. Seberapa penting Ata Cilla buat perusahaan?”

            Rio langsung bertanya saat berkunjung ke perusahaan Ayahnya. Berjalan menyusuri tiap sudut ruangan Ayahnya berada.

            “Kenapa tiba-tiba kamu bertanya seperti itu?” Zeth -Ayah Rio- tersenyum tanpa menghentikan kegiatannya.

            “Hanya ingin tahu.” Rio bergedik lalu mulai duduk di kursi yang telah disediakan.

            “Seberapa penting Ayah untuk kamu?” Rio mengeryit heran menatap Ayahnya yang juga menatapnya.

            “Ayah itu hidup aku. Seluruh jiwa dan raga aku setelah Bunda pergi.” Rio tersenyum tulus.

            “Sama seperti jawaban kamu. Ata Cilla berpengaruh besar pada perusahaan. Perumpamaannya seperti ini, Kamu menganggap Ayah bagian dari hidup kamu jiwa dan raga. Ketika Ayah sudah tidak ada bagaimana dengan jiwa dan raga kamu? Hanya ada dua kemungkinan. Pertama, kamu masih bisa melanjutkan hidup kamu tanpa Ayah walaupun jiwa dan raga kamu telah pergi. Kedua, kamu tidak akan bisa melanjutkan hidup kamu karena kamu tidak terima jiwa dan raga yang ada dalam hidup kamu pergi. Menghilang dan tak berbekas.”

            Rio bersender pada kursi. Ucapan Ayahnya masih belum diterima baik oleh otaknya. Hanya sebuah kalimat yang lewat begitu saja di otaknya.

            “Aku tidak mengerti. Kenapa Ayah membuat perumpamaan yang menurutku sangat sulit dicerna?” Rio berdecak kesal.

            Zeth dapat melihat anaknya bergumam tidak jelas. Ia hanya tersenyum lalu mulai melanjutkan perkerjaannya yang tertunda. “Kalau kamu tidak mengerti, cari taulah. Seorang agen mata-mata tidak akan menyerah begitu saja bukan?” Zeth tertawa kecil.

            “Hm..”

            Zeth mendengar hanya kalimat itu yang keluar dari mulut anaknya semakin tertawa lebar. Anaknya tampak polos tapi sangat cerdik. Tidak sia-sia jika dirinya berhasil membujuk Rio untuk masuk menjadi Agen di perusahaannya. Sedangkan Rio yang melihat Ayahnya tertawa semakin lebar tanpa menghentikan perkerjaannya berdecak kesal.

            “Aku pamit. Ayah membuatku kesal.” Rio beranjak dari tempat duduknya masih diiringi tawa Ayahnya, Zeth.

***

            Ify mengeratkan sweaternya lalu mulai berjalan memasuki kelas sesudah bel berbunyi lima menit yang lalu. Ia pikir Gabriel akan menjemputnya seperti hari sebelumnya ternyata Gabriel tidak kunjung datang hingga dirinya telat masuk lebih pagi.

            “Pagi Fika.” Sivia menyapa Ify ketika baru memasuki kelas.

            Langkah Ify terhenti, “Pagi juga Via. Mau kemana?”

            “Ke ruang ganti. Abis itu ke lapangan sekarang kan pelajaran olahraga. Tapi gurunya lagi nggak ada jadi bebas dilapangan mau ngapain aja.”

            “Nggak ikut gapapa kan? Males nih. Hehe” Ify terkekeh pelan.

            “Ya gapapa sih. Cuma jangan sampai ketauan guru aja.” Sivia tertawa pelan membuat Ify tertawa sambil mengacungkan ibu jarinya.

            “Duluan ya!”

            “Oke.”

            Ify dapat melihat Sivia keluar kelas sambil berlari kecil. Tampaknya Sivia sangat menyukai pelajaran olahraga dibanding dirinya. Ruang kelas nampak sepi hanya beberapa orang saja. Ify yakin orang-orang itu juga males untuk mengikuti pelajaran olahraga seperti dirinya.

            Dilanjutkan lagi langkahnya yang tertunda untuk menuju tempat duduknya. Tekadnya hari ini adalah masalah Gabriel dan dirinya harus kelar agar dia bisa bekerja sama dengan Gabriel untuk lebih cepat menemukan Ata Cilla dibanding Rio.

            Ngomong-ngomong soal Rio. Ify akan bungkam tentang sosok Rio yang sebenarnya. Untuk saat ini biar Ify yang tau. Ia akan mengenal lebih jauh tentang Rio dan apa tujuan yang sebenarnya dari kedua perusahaan itu. Ify sendiri tidak yakin dengan perkataan Ayahnya yang berusaha menutup-nutupi tujuan perusahaan U-Corp saat menemukan Ata Cilla.

            Ata Cilla. Rio. Perusahaan. Gabriel dan juga Alvin. Lima masalah yang menjadi pokok pikirannya. Dan sampai saat ini Ify tidak tau apa yang harus dilakukannya. Semua terasa di atas ambang jalan pikiran. Tidak bisa diraih. Ify berdecak kesal sambil menelungkupkan kepalanya di atas meja.

            ‘Kenapa semuanya terasa bertubi-tubi?’

            Mata Ify terpejam. Lebih baik ia menggunakan dua jam pelajaran olahraga untuk beristirahat sebentar mengingat dirinya kemarin pulang larut malam. Menunggu Alvin yang tidak kunjung datang. Ify sadar janji sepihak yang dibuatnya tidak akan pernah berlaku untuk seorang Alvin Jonathan.

***

0 komentar:

Posting Komentar

Enjoy your comment! :)