10/03/12

Cahaya Lilin -4B-

Aku menarik nafas tertahan ketika sosok itu tengah menghampiriku.

“Yel, pulang yuk!” Gabriel mengheryit heran.

Aku menarik nafas pelan.

“Udah pulang yuk.” Aku menarik tangan Gabriel dan mulai beranjak dari tempat aku berteduh di pinggir lapangan basket.

Tubuhku sedikit terhuyung  membuat Gabriel memposisikan tubuhnya dekat denganku.

“Diktator loe sekarang berapa?” Tanyanya dingin.

“Masih stabil.” Gabriel mendengus pelan lalu menarik pergelangan tangan kiriku.

Aku tersentak, berusaha untuk menarik pergelangan tangan kiriku. Gabriel semakin mencengkram tanganku tanpa sadar aku meringis kecil.



Gabriel tersenyum sinis.

“Ini yang dibilang stabil? Ck!” Aku menatap matanya yang tajam.

“Penting?” Aku tersenyum miring.

“Mau sampai kapan loe begini? Loe egois Fy. Elo terlalu keras kepala. Gue gak abis pikir sama loe!” Hardiknya.

Aku menghentakan tanganku dan mulai berlalu dari Gabriel. Tapi sesorang menahan lenganku dari belakang, membuat aku menghentikan langkahku .

“Apa lagi sih Ye—“ Aku menoleh ke belakang dan terdiam menatap sosok yang ada didepanku. Tidak berusaha melanjutkan perkataanku.

Aku melirik Gabriel yang mulai berlari kecil menghampiriku.

“Mau kabur loe? Cems!” Aku menghempaskan tangannya yang masih bertengger di tanganku.

“Sorry, gue harus pergi Prissy. Permisi.” Aku berbalik badan dan mulai berjalan pelan.

“Gue baru sadar kita memang berbeda. Gue emang gak pantas buat berteman sama loe. Elo itu hanya sebuah sampah yang gak berguna..”

'Shilla..’

Aku berhenti. Perkataan itu cukup menohok hatiku. Membuat lubang kecil itu semakin terbuka lebar.

Aku berbalik badan. Masih berdiam diri. Shilla tersenyum miring dan mulai berjalan pelan kearahku di ikuti oleh Prissy yang berada di belakangnya.

“Kenapa? Elo takut? Cems banget!” Serunya.

Aku mengepalkan tanganku berusaha meredam emosi yang mulai menjalar di tubuhku. Shilla melirik kearah tanganku.
Shilla tertawa dan itu semakin membuatku ingin mengubur telingaku dalam-dalam.

“Loe marah? Silahkan nih pukul gue kalau loe mau.” Shilla tersenyum sinis sambil menunjuk kulit pipinya.

Aku ikut tersenyum dan mulai berbalik badan. Melangkahkan kakiku untuk berjalan keluar dari area lapangan basket ini tanpa menghiraukan perkataan Shilla tadi.

‘Loe harus bisa ngadepin Dia Fy. Gimanapun juga Dia pernah menjadi bagian yang terpenting dalam hidup loe.’

Brak!

Aku tersungkur. Kakiku membentur pembatas lapangan basket. Aku mengigit bibir bawahku berusaha menahan sakit yang langsung menjalar ditubuhku.

“Ify!” Pekik Gabriel dan mulai berlari menuju tempat aku terkapar. Beruntung di sini hanya ada Aku, Gabriel, Shilla, dan Prissy.

Gabriel membantu aku untuk berdiri.

“Kali ini loe keterlaluan Shill! Harusnya elo terima kasih sama Ify karena dia yang sudah bawa loe ke Rumah Sakit. Dia yang nemenin loe seharian di sana.”

“Gue gak peduli.” Shilla tersenyum miring.

“Ck! Elo emang gak pernah peduli Shill. Loe gak tahu kan kalau Ify ingin mendonorkan ginjalnya buat loe? Loe munafik Shill. Gue tahu kalau loe sebenernya masih sayang sama Ify, masih nganggep Ify itu teman loe sendiri. Tapi elo gak mau ngakui itu karena loe udah dibutakan oleh emosi loe Shill!”

“Udah Yel. Gue gak kenapa-kenapa kok.” Aku mencoba tersenyum. Gabriel mengangguk dan mulai membantu aku berjalan.

‘Aarghhhh!!’ Aku mengigit bawah bibirku. Kakiku terasa sakit saat mulai melangkah. Aku menggenggam jemari Gabriel kuat. Sontak membuat Gabriel menoleh kearahku. Aku hanya menggelengkan kepalaku perlahan saat Gabriel memperlihatkan wajah khawatirnya.

“Tunggu..” Aku dan Gabriel berhenti menatap Shilla yang berada di depanku.

“Apa lagi Shill?” Gabriel mendengus kesal.

“Tanding sama gue jam istirahat ke dua. Yang kalah harus nurutin kemauan yang menang.” Shilla tersenyum kecil.

“Maaf, gak minat.” Aku mulai berjalan -lagi- dibantu oleh Gabriel.

“Oh jadi cuma segitu kemampuan loe? Cih. Gak nyangka gue..”

Aku terdiam menatap Gabriel. Gabriel menoleh kearahku dan menggelengkan kepalanya perlahan. Aku menghela nafas berat.

“Jam istirahat kedua gue tunggu di lapangan Shill..” Dari ujung mataku aku bisa melihat raut wajah Shilla yang tersenyum kecil.

“Bagus deh. Gue tunggu kedatangan loe.” Shilla mulai beranjak dari tempatnya.

“Fy, loe serius?” Gabriel memandangku heran.

“Ini cuma satu-satunya cara biar Shilla maafin gue Yel. Dan gue harus menang..”

***

“Akhirnya loe dateng juga. Ya setidaknya itu adalah sebuah harapan..” Aku memandang Shilla heran. Sejenak aku menghembuskan nafas perlahan.

“Gue mau minta maaf..” Shilla tersenyum. Senyum yang menurutku menyimpan sebuah makna tersirat. Shilla mengejekku.

“Gue serius. Gue mau minta maaf. Jujur, gue gak pernah ada hubungan apa-apa sama Rio. Gue.. Gue  beneran gak tau kalau Rio—“

“Gak ada yang harus loe ucapin lagi Fy. Yang harus loe lakuin adalah kita battle!”

“Kenapa loe bisa keluar dari Rumah Sakit?” Aku sedikit mengalihkan pembicaraan.

“Pertanyaan udah melenceng dari jalur yang seharusnya. Lagi pula apa urusan loe?”

Aku mendengus sebal.

“Loe ngajak tanding tapi elo sendiri masih sakit? Stupid.”

“Terserah. Yang jelas gue gak bakal ngalah dari loe Fy.” Aku berdecak kesal. Sifat lama Shilla akhirnya muncul lagi.

The only hope you..” Shilla tersenyum tipis.

***
Continued....

Follow : @LersTennouji

1 komentar:

Enjoy your comment! :)