24/09/13

Believe In Love - 3

BIL - 3

            Sivia bersandar di tembok menatap dua orang yang saling berdebat di tengah lapangan. Kedua tangannya terlipat dibawah dada. Wajahnya tanpa ekspresi apapun. Bel masuk sudah berbunyi sepuluh menit yang lalu. Tapi koridor sekolah masih ramai karena belum ada satupun guru yang memasuki kelas.

            Sivia segera mengalihkan pandangannya dari sana. Matanya tertumpu pada Prissy yang berada di sampingnya. Prissy sendiri sudah menjadi sahabatnya sejak smp. Dan mereka dipertemukan lagi saat sma hingga sekelas dan duduk sebangku dua tahun berturut-turut.

            “Apa yang lo lakuin setelah ini?”

            Alis Sivia mengkerut mendengar ucapan temannya itu. Bahunya terangkat ke atas. “Entahlah. Gue juga nggak tau pasti.”

            Jawaban Sivia tentu tidak membuat Prissy seketika puas. Dirinya masih penasaran dan hanya bisa menerka-nerka apa yang bakal di lakuin Sivia ketika melihat dua pasang remaja yang masih terlibat adu cecok di lapangan.

            Belum sempat Prissy hendak mengutarakan pendapatnya, Sivia sudah melenggang pergi begitu saja tanpa menghiraukannya. Pamit pun tidak. Prissy yang melihatnya hanya bisa membuang nafas kasar. Kemudian dia berjalan mengikuti Sivia dari belakang.

***

            Cuaca mendung di pagi hari menyelimuti kota Jakarta. Walaupun begitu Alyssa tetap duduk diam di halte menunggu bus yang akan membawanya melewati SMA Nusa Bangsa. Sesekali dia melirik jam tangan yang ada di pergelangan tangan kirinya.

            Sudah jam 06.45 tapi bus yang ditunggu masih tidak mucul juga. Alyssa berdecak sebal. Dia tidak mungkin naik taksi yang hanya memperparah keadaan uangnya. Bisa-bisa jatah yang sudah dia rincikan untuk seminggu kedepan bisa habis hanya karena sekali pergi naik taksi. Naik angkot? Oh ayolah.. Gini hari naik angkot yang ada bukannya menghemat uangnya malah sama aja kaya naik taksi. Belum lagi ngetem yang bisa bikin dia telat dan tidak dibolehkan masuk.

            Kalau sampai lima menit lagi bus yang ditunggunya tidak datang juga, terpaksa Alyssa harus membiarkan dirinya bolos sekolah. Ya sekali-kali lah, batinnya.

            Sebuah motor ninja dengan perpaduan warna putih dan biru muda berhenti tepat di depan Alyssa. Alyssa mengeryit heran menatap sosok yang masih memakai helm fullfacenya.

            Alyssa melirik lagi jam di tangannya. Oke ini sudah lima menit berlalu. Alyssa menghela nafas pelan dan mulai berdiri melangkahkan kakinya menjauh dari halte.

            “Tunggu!”

            Alyssa memberhentikan langkahnya. Dia berbalik dan menemukan sosok Mario yang berdiri dengan membawa helmnya. Dia melirik motor tadi yang sudah terparkir dengan baik.

            Alyssa menatap Mario heran. “Apa?”

            “Tadi aku lihat kamu sedang menunggu bus di halte. Karena kupikir ini sudah hampir bel masuk dan kamu masih disini, aku berniat ngajakin bareng ke sekolah. Gimana?”

            Mario menatap Alyssa harap-harap cemas. Matanya tidak dialihkan sedikitpun dari Alyssa.

            “Lo aja. Gue mau balik.”

            Mario mendesah pelan. Dia seharusnya tahu bahwa menghadapi Alyssa tidak semudah yang dibayangkan. “Kamu nggak takut kalau beasiswa yang kamu peroleh susah payah dicabut gitu aja karena bolos sekolah?”

            Mario terdiam sejenak. Lalu dia buru-buru menambahkan kalimatnya. “Ayolah buka pikiran dan hati kamu. Aku cuma berniat baik sama kamu nggak ada maksud tujuan apapun.”

            Alyssa hanya menatap Mario yang terus berusaha membujuknya untuk kesekolah bersamanya. “Baiklah..”

            Akhirnya.

            Mario mendesah lega. Lalu dia tersenyum tipis kearah Alyssa. Kakinya langsung segera melangkah menuju motornya berada di ikuti oleh Alyssa yang berjalan di belakangnya.

            Setelah sudah siap, Mario menjalankan motornya dengan kecepatan yang bisa dibilang nyari mati. Alyssa sendiri memejamkan matanya rapat-rapat. Kedua tangannya tidak berada di pinggang Mario melainkan ada di sisi belakang penyangga motor.

            Alyssa bisa merasakan tubuhnya menembus angin. Dia tahu apa yang dilakukan Mario wajar mengingat tinggal lima menit lagi pintu gerbang ditutup rapat. Tapi nggak bisa dipungkiri ada bagian hatinya yang terasa sesak.

            Dulu Riel pernah melakukan seperti ini..

            Kenyataan tersebut membuat Alyssa semakin memejamkan matanya rapat-rapat.

            Dulu Riel pernah membawanya pergi menembus angin..

            Alyssa mengeratkan pegangannya pada peyangga belakang motor. Dia menghiraukan rasa sakit  pada kepalan tangannya akibat memegang terlalu keras. Yang ada di pikirannya sekarang ialah kenapa Mario selalu mengingatkannya dengan Riel?

            Mungkin memang mereka nggak punya hubungan sedarah karena Riel nggak pernah bercerita dia mempunyai saudara kandung. Dan Alyssa masih tetap mempercayai itu semua.

            Akhirnya mereka sampai di sekolah tepat jam tujuh dan nyaris pintu gerbang di tutup. Alyssa segera turun dari motor Mario. Dia menghela nafas pelan dan masih menetralisir perasaannya yang sempat kacau.

            Mario ikut turun dan menaruh helmnya di atas kaca spion motor. Dia berbalik menatap Alyssa yang hanya berdiam diri di depannya. “Maaf udah ngebawa kamu ngebut. Lain kali aku pastiin enggak akan pernah kayak gitu..”

            Alyssa menoleh kearah Mario. Sedetik kemudian dia berjalan menuju kelasnya, meninggalkan Mario dibelakangnya.

            Mario segera mengejar Alyssa. Dia menarik pergelangan tangan Alyssa agar sejajar menghadap kearahnya. “Lyss, aku bener-bener minta maaf. Tadi karena udah tinggal lima menit lagi jadinya tanpa sadar aku ngebawa kamu ngebut.”

            Mario menatap dalam Alyssa. “Sekali lagi aku minta maaf.” Lanjutnya.

            Alyssa melepas cekalan tangan Mario di pergelangan tangannya. “Apaan sih..” gerutunya.

            Mario berdiam diri menatap kepergian Alyssa begitu saja. Yang ada dipikirannya saat ini mendadak kosong saat melihat mata perempuan yang dihadapannya beberapa saat lalu memancarkan kesedihan yang berlarut-larut. Dan ada bagian dihatinya terasa pedih dan secara nggak langsung ikut turut merasakan kesedihan yang terpancar dari mata itu.

            Selintas pikiran Mario berjalan ke masa lalu. Saat seseorang yang ada di dekatnya memberikan nasihat ketika dia pernah mengalami hidupnya berada jauh dibawah. Ketika dia pernah merasakan apa yang namanya sakit hati, pembohongan berkala dan juga saat dia ditinggal dengan orang terdekatnya.

            Mario menarik nafas panjang dengan wajah yang sendu. Langkah kakinya yang sempat terhenti tadi dilanjutkannya menuju kelas. Mario harus memikirkan kembali untuk bisa membuat Alyssa nyaman berada di dekatnya. Harus.. Dan pasti bisa. Mario yakin akan hal itu.

            Bagian yang teramat sakit adalah sesuatu yang tidak tertampak pada diri kita.

            Begitu juga dengan pancaran sinar yang ada di mata menunjukkan kebenaran yang mutlak dibandingkan dengan apa yang dikeluarkan dari mulut.

***

@Lcoaster17

2 komentar:

Enjoy your comment! :)